Jumat, 28 November 2014

MEMAHAMI PUISI

Puisi adalah karya sastra yang menyampaikan pesannya dengan bahasa lebih padat dan penuh makna daripada pemakaian bahasa pada karya sastra lainnya seperti prosa dan drama. Dalam puisi terdapat unsur yang membangun puisi itu sendiri. Unsur-unsur yang terdapat dalam puisi terdiri dari unsur dalam yang biasa disebut dengan unsur intrinsik dan unsur luar yang biasa disebut dengan unsur ektrinsik. Pada pokok bahasan materi ini, akan dibahas beberapa unsur intrinsik sebagai unsur yang membangun terbentuknya suatu puisi. Unsur intrinsik puisi adalah unsur yang membangun dari dalam puisi itu sendiri. Maksudnya unsur-unsur yang terkandung atau terdapat di dalam puisi itu sendiri.
Berikut ini uraian singkat unsur-unsur intrinsik puisi:
1. Tema
Tema merupakan permasalahan pokok / gagasan pokok yang diungkapkan penyair dalam puisinya. Tema berfungsi sebagai landasan utama penyair dalam menuliskan puisinya. Tema-tema dalam puisi, misalnya: ketuhanan, kemanusiaan, patriotisme (perjuangan membela tanah air, cinta tanah kelahiran, cinta kasih, protes sosial, dll.)
Menurut Herman J. Waluyo, tema adalah gagasan pokok yang dikemukakan penyair melalui puisinya. Tema bersifat khusus (diacu dari penyair), objektif (pembaca harus menafsirkan sama) dan lugas (bukan makna kias yang diambil dari konotasinya). Jika ingin mengetahui tema sedikit banyak kamu harus mengetahui latar belakang penyair agar tidak salah dalam menafsirkan.

2. Amanat
Amanat merupakan pesan yang ingin disampaikan penyair melalui karangannya. Amanat tersirat di balik rangkaian kata, bisa juga berada di balik tema yang diungkapkan. Pesan diungkapkan dengan makna yang terdapat dalam kata-kata pada puisi.

3. Citraan
Citraan bisa diartikan pencerapan indera terhadap objek (kata-kata dalam puisi). Ada beberapa citraan yang digunakan para penyair berdasarkan penyerapan inderanya terhadap objek.
Berikut ini beberapa macam citraan dan contohnya dalam puisi :
a. Citraan perasaan
Gerimis telah bersedih
Di atas bumi yang letih
Di atas jasad yang pedih
Jiwa menangis diiris sedih
Berlumuran durja penuh kesedihan
Jiwa tersedu menangis merintih
Badan terkulai penuh penderitaan

b. Citraan bauan / penciuman
Harum madu
Di mawar merah
Semerbak mewangi
Mentari di tengah-tengah

c. Citraan visual / penglihatan
Kuingin engkau pergi
Pergi menjauh ke balik awan
….
Berbelit jalan
Ke gunung kapur
Antara Bandung dan Cianjur

d. Citraan pendengaran
Bersuara tiap kau melangkah
Mengerang tiap kau memandang
….
Denting suara piano
Membangunkan mimpiku
Di tengah malam sunyi

e. Citraan gerak
Di luar angin berputar-putar
Menerjang kiri kanan
Tak terkendali menerpa menerobos angan

4. Nada dan Suasana
Nada bermakna sikap penyair terhadap pembaca. Bagaimana penyair bersikap pada pembaca, misalnya menghakimi, menggurui, menyindir, menghasut dan sebagainya.
Suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi. Suasana merupakan akibat yang ditimbulkan puisi itu terhadap jiwa pembaca. Akibat itu akan menumbuhkan kesan tertentu, misalnya haru, murung, ceria, heroik, putus asa, iba.

5. Rasa
Puisi merupakan karya sastra yang paling mewakili perasaan penyair. Dengan kata lain puisi merupakan ekspresi perasaan penyair. Bentuk ekspresi itu dapat berupa kerinduan, kegelisahan atau kesanggupan kepada kekasih, alam, pahlawan, atau kepada Tuhan.

6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa dalam puisi biasa disebut dengan majas. Gaya bahasa yang digunakan dalam puisi memiliki beraneka ragam jenis. Jenis-jenis gaya bahasa tersebut memiliki ciri masing-masing. Beberapa jenis majas dalam puisi sebagai berikut.
a. Hiperbola
Hiperbola merupakan jenis majas yang menggunakan kata-kata bermakna berlebihan.
Contoh: Suaranya menggetarkan bumi, semangatnya membara, kata-katanya menghancurleburkan hatiku
b. Personifikasi
Majas personifikasi merupakan jenis majas yang memaknai benda mati seolah-olah hidup atau mengumpamakan mahkluk hidup selain manusia yang dapat bertindak seperti manusia.
contoh: ombak berkejaran, mentari menyapa, bulan sembunyi, rumput bergoyang, nyiur melambai, burung menyanyi
c. Ironi
Majas ironi merupakan jenis majas yang bermakna sindiran halus kepada seseorang.
contoh: Saya bangga padamu karena tidak pernah mengumpulkan tugas.
Suaramu memang bagus, tetapi lebih bagus kamu tidak bersuara.
Rajin sekali dirimu, sudah siang begini baru bangun tidur.
d. Metafora
Majas metafora merupakan salah satu jenis maja yang membandingkan satu benda dengan benda lain.
contoh: dewi malam (:bulan), raja hutan (:singa), tikut kantor (:koruptor), bunga desa (:wanita pujaan di suatu desa)
e. Litotes
Majas litotes merupakan salah satu jenis majas yang bermakna merendahkan diri sendiri
contoh: Silakan menikmati hidangan seadanya. (kenyataannya makanan yang dihidangkan sangat mewah)
Kami hanya tinggal di gubuk tua. (kenyataannya tinggal di rumah istana)
f. Simile
Majas simile merupakan salah satu jenis majas yang bermakna perumapamaan secara langsung. Biasanya pada majas ini ditandai dengan kata hubung bermakan seperti (bagaikan, ibarat, laksana, bak)
contoh: Gadis itu bagaikan bidadari surga.
Dirimu seperti bintang di hatiku.

Menulis Sastra Prosa


 
Kegiatan menulis sastra di sekolah-sekolah dapat dipastikan masih tertumpu pada teori, terutama teori-teori lama. Padahal, guru sebagai fasilitator kelas semestinya mampu mengaplikasikan teori tersebut sehingga tatkala ada kendala pada siswa semisal ‘mentok ide’ dapat diantisipasi berdasarkan pengalaman si guru.
Kasus kakunya pembelajaran menulis sastra di sekolah cenderung saat campur tangan guru dalam memberikan tema atau topik kepada siswa. Soal penetapan tema bagi siswa mesti dipikirkan dengan saksama. Manakala siswa belum pernah sama sekali diminta menulis, tema mestinya tidak ditetapkan oleh guru. Berikan terlebih dahulu kesempatan kepada siswa mengembangkan pemikirannya dengan bebas, baru kemudian diarahkan.
Ada dua hal yang mesti diperhatikan di sini: (1) pencarian ide; (2) pencarian masalah. Kedua hal ini tentunya berlaku dalam menulis prosa (cerpen dan novel).
  1. 1. Pencarian ide
Banyak orang mengaku kesulitan menulis karena tidak ada ide. Hal ini juga pernah saya dengar dari penulis-penulis yang sudah mapan—bukan hanya penulis pemula. Jika penulis yang sudah biasa menulis saja mengeluhkan soal ide, bagaimana pula dengan siswa di sekolah yang baru pertama sekali mendapat perintah mengarang (menulis).
Saya masih ingat dengan cerpen Seno Gumira Ajidarma yang terpilih sebagai cerpen pilihan Kompas 1993. Betapa topik yang telah ditentukan oleh si guru dalam cerpen “Pelajaran Mengarang” tersebut telah membuat tokoh Sandra tidak dapat menuangkan idenya. Ini adalah satu di antara beberapa kelemahan jika ide (topik) ditetapkan oleh guru.
Kendati demikian, adakalanya memang topik harus ditetapkan oleh guru. Hal ini dimungkinkan pada siswa yang sudah pernah dilatih atau memang terlatih menulis (mengarang). Bagi yang pertama sekali mencoba mengarang juga tidak tertutup kemungkinan manakala alasannya siswa tidak memiliki ide.
Kesulitan mendapatkan ide ini—seperti saya tuturkan di atas—juga terkadang dialami penulis yang sudah jadi. Pada beberapa pelatihan menulis, saya sering diaajukan pertanyaan dari peserta terkait kesulitan ide. Hemat saya, ide itu ada di alam (semesta). Hal ini sesuai dengan salah satu pendekatan sastra yang ditawarkan Abram, yakni pendekatan mimesis yang artinya pendekatan karya sastra menitikberatkan pada alam (Teeuw, 1984:42).
Berikutnya, ide juga dapat diarahkan dari pengalaman, baik pengalaman penulis maupun pengalaman orang lain. Untuk penilaiannya, hal ini dapat dilakukan dengan teori ekspresif (Teeuw:1988:155). Oleh karena itu, tidak tertutup kemungkinan guru mengarahkan siswa yang kesulitan ide agar menulis berdasarkan pengalaman pribadi atau pengalaman teman.
Jika idenya diambil dari pengalaman orang lain (teman), tentunya sebelum menulis karya sastra, siswa dianjurkan agar saling berbagi cerita dengan temannya. Hal ini dapat juga dilakukan dengan meminta siswa membaca buku. Dari hasil bacaan itu kemudian siswa diminta menulis sebuah cerita. Boleh jadi mengajarkan menulis kepada siswa setelah siswa terlebih dahulu diminta membaca salah satu karya sastra (misal: cerpen). Karya yang sudah dibaca itu dimintakan kepada siswa untuk ditulis ulang berdasarkan apa yang diingatnya saja. Ini sah dilakukan karena penilaian sastra pun ada yang namanya intertekstualitas.
Singkatnya, banyak cara dapat dilakukan untuk mendatangkan ide, karena ide bukanlah ilham yang jatuh dari langit atau yang hadir dalam mimpi di siang bolong.
  1. 2. Pencarian masalah
Selanjutnya, setelah mendapatkan ide, dalam karya sastra prosa, baik cerpen maupun novel, yang terpenting berikutnya yakni masalah. Masalah di sini adalah konflik yang akan membangun cerita nantinya. Cerpen tanpa masalah (konflik) tentu akan menjadi cerita garing. Soal masalah ini, dalam cerpen cukup menghadirkan satu saja, sedangkan untuk novel boleh beberapa masalah. Artinya, cerpen memang cerita yang hanya menyajikan satu konflik.
Tatkala siswa sudah mendapatkan konflik, mereka juga mesti dituntun dalam membangun konflik tersebut agar menuju puncak konflik, yakni menciptakan suspens dalam berkisah. Satu tawaran konflik yang dibangun dengan bunga konflik akan menjadikan cerpen terasa ‘nikmat’ saat dibaca. Maka dari itu, guru juga mesti mengajarkan siswa dalam menggunakan bahasa bercerita, yakni bahasa komunikatif.
Bagaimana meramu bahasa, sama halnya dengan bagaimana membangun konflik, yakni mesti sering membaca karya sastra. Menulis tanpa disertai dengan membaca adalah sebuah proses nihil. Oleh karenanya, jika mengajarkan menulis cerpen, siswa juga diberikan contoh cerpen yang layak untuk dibaca. Deikian halnya dengan puisi, novel, drama, atau karya sastra lainnya.
Selama ini, banyak anggapan bahwa membaca novel, cerpen, dan puisi, dan naskah drama bukanlah hal yang penting dalam proses pembelajaran. Padahal, jika mengaku pada pepatah bijak, “Berkawan dengan tukang las, akan kena percikan tahi besi. Berteman dengan pandai emas, akan dapat bunga emas. Berakan dengan tukang jual minyak wangi, akan keciprat harumnya.” Jelas sekali kalau hendak menulis cerpen, mesti sering-sering membaca cerpen, hendak menulis novel, sering-seringlah membaca novel, hendak menulis puisi, jangan bosan membaca puisi (karya) orang.
Sekilas, dilihat dari asumsi, seakan kita mengajarkan anak meniru. Untuk langkah awal, jawabannya adalah “iya”. Biarkan saja anak menjadi epigon dari karya orang lain. Lama kelamaan ia akan menemukan orisinilitas dalam pencariannya.

Menulis Puisi
Khusus untuk puisi, anak didik mesti diajarkan cara berkontemplasi. Artinya, secara sederhana siswa diminta untuk merenung terhadap kata yang akan digunakan saat hendak mengungkapkan sesuatu dalam puisinya.
Seperti diketahui, puisi adalah karya sastra yang memiliki hermeuneutik ambigu. Ia multitafsir. Karenanya, anak mesti diberikan pemahaman yang cukup dalam memaknai puisi orang. Baru kemudian dapat menulis puisi pula. Anak didik juga mesti diajarkan cara-cara menandai kata-kata konkret dan menggunakan diksi yang tepat dalam puisi. Demikian halnya dengan penggunaan bahasa figuratif agar pengimajian puisi didapatkan. Persoalan tema dan topik, seperti saya sebutkan di atas, jangan dibatasi dulu bagi pemula. Apalagi, untuk puisi, pembatasan topik akan mempersempit langkah anak mengembangkan kerangka berpikirnya.
Langkah berikutnya, siswa juga dibimbing dalam melakukan penginderaan. Hal ini sangat mudah, karena dapat dipastikan setiap siswa paham indera. Untuk indera penglihat dan pendengar, tidak tertutup kemungkinan siswa diajak keluar kelas sejenak. Bebaskan siswa melihat atau mendengar apa saja di luar, lalu minta ia mencatatnya. Dari sejumlah kata yang sudah didapati, minta siswa memilah antara mungkin “kata aneh” atau “kata sederhana/populer”. Berikan penjelasan kepada siswa terhadap katagori “kata aneh” yang layak dijadikan diksi dalam menulis puisi.
Endraswara (2003:224) menawarkan enam langkah bagi seseorang jika ingin menyair: (1) melatih tanggap sasmita, yakni peka terhadap sesuatu; (2) menangkap ilham, yakni berusaha mencari tempat-tempat tertentu yang dapat merangsang ide; (3) memunculkan kata “pertama” yakni berusaha menuliskan kata apa saja yang menjadi pertama sekali muncul, boleh jadi alam semesta; (4) mengolah kata, yakni memanipulasi ilham, tetapi pengolahan kata ini tetap membutuhkan hati; (5) memberi vitamin, yaitu memberikan kata-kata tertentu sebagai gaya bahasa dalam menuturkan sesuatu, dalam artian berusaha bermain kata-kata; (6) menyelesaikan kata, yaitu meyeleksi kata-kata yang sudah dipilih untuk digunakan dalam puisi

Kamis, 27 November 2014

 

 

 PENGANTAR APRESIASI KARYA SASTRA


 Laporan Baca
Apresiator harus dapat membaca dengan baik agar dapat mengaprseiasi karya sastra. Makna dari kegiatan membaca pun cukup luas, sehingga untuk mengerucutkan rumus suatu makna dalam membaca itu sangatlah sulit. Beberapa rumusan membaca tersebut, seperti : membaca adalah mereaksi, proses, pemecahan kode, dan penerimaan pesan. Jenis-jenis membaca pun ada beragam, seperti : membaca dalam hati, cepat,  teknik, bahasa, estetis, kritis, dan juga kreatif. Terdapat 3 unsur utama yang tidak dapat dihilangkan dan wajib diperhatikan ketika melakukan kegiatan membaca karya sastra, yaitu : pemahaman, penghayatan, dan pemaparan.
                Apresiasi adalah suatu penghargaan terhadap  karya sastra yang diawali dengan pemahaman makna yang terdapat dalam isi yang juga merupakan nilai – nilai keindahan. Ketika proses pengapresiasian terdapat 3 aspek yang terlibat, seperti : aspek kognitif yang berhubungan dengan pemahaman unsur sastra seorang apresiator yang bersifat objektif. Aspek emotif, yaitu penghayatan pembaca terhadap unsur keindahan yang melibatkan unsur emosi. Aspek evaluatif, yaitu penilaian karya sastra secara umum, misalnya penilaian baik – buruk, sesuai – tidak sesuai, dan indah – tidak indah sebuah karya sastra, dimana ini bukan termasuk dalam sebuah karya kritik. Apresiator dapat mengapresiasi karya sastra secara langsung (dengan cara membaca atau menikmati karya sastra atau performance secara langsung) maupun tak langsung (dengan cara mempelajari teori sastra dan hal – hal yang berhubungan dengan kesastraan). Beragam unsur menyeluruh yang terkandung dalam karya sastra, misalnya: keindahan, kontemplatif, media pemaparan, dan intrinsik. Jadi, bila dihubungkan dengan 4 unsur itu, bekal awal apresiator adalah : kepekaan emosi, memiliki pengetahuan dan pengalaman, pemahaman aspek kebahasaan, dan pemahaman unsur intrinsik.
                Keragamanan pendekatan apresiasi sastra terbagi menjadi 3 bagian, yaitu menurut tujuan dan apa yang akan diapresiasi, kelangsungan apresiasi itu terproses lewat kegiatan bagaimana, dan landasan teori yang digunakan dalam kegiatan apresiasi. Ada beberapa pendekatan sebagai pilihan, antara lain: Pendekatan parafrastis adalah cara pemahaman makna karya sastra dengan cara penyampaian kembali gagasan yang disampaikan pengarang dengan cara penulisan yang berbeda baik kata maupun kalimat, agar dapat lebih dipahami kandungan maknanya oleh pembaca  karena dengan bahasa yang lebih sederhana, simbol-simbol dan kata yang mengalami pelesapan dapat diartikan dan dimuculkan dengan cara yang mudah dipahami namun tetap tidak merubah makna yang ingin disampaikan pengarang. Pendekatan emotif adalah pendekatan yang lebih merujuk pada emosi atau perasaan pembaca dengan cara mencari unsur-unsur yang mampu memunculkan emosi atau perasan atau melihat cara penyajian bentuk suatu karya sastra tersebut. Pendekatan analitis adalah pendekatan yang dilakukan dengan dasar teori tertentu, teratur atau sistematis, bersifat objektif, serta kebenarannya diakui oleh umum. Pendekatan historis adalah pendekatan yang memandang adanya keterkaitan antara karya sastra dengan biografi pengarang, peristiwa yang melatar belakangi terciptanya karya sastra, hingga perkembangan sastra dari masa ke masa. Pendekatan Sosiopsikologis adalah pendekatan untuk memahami suatu kehidupan sosial budaya dan hal-hal yang berkaitan dengan kejiwaan dan sikap pengarang dengan lingkungannya saat karya sastra tersebut dihasilkan. Pendekatan didaktis adalah pendekatan yang bertujuan menemukan dan memahami isi, tanggapan, dan sikap pengarang terhadap kehidupan yang akan terwujud dalam pandangan etis, filosofis, dan agamis yang akan mengandung nilai-nilai untuk memperkaya kehidupan pembaca. Pendekatan-pendekatan ini dapat menjadi dasar atau prinsip utama agar apresiator dapat memahami karya sastra yang dihadapinya dan mengambil manfaat yang ada didalamnya sesuai tahapan-tahapan yang diingini apresiator tersebut.
                Ada dua manfaat mengapresiasi karya sastra, yaitu: manfaat secara umum, berupa pengisi waktu luang, penambah pengetahuan, pemberi informasi, dan bisa juga pemberi hiburan. Manfaat secara khusus, berupa pencapaian tujuan-tujuan tertentu. Karya fiksi terdapat beberapa unsure didalamnya, seperti : pengarang, isi penciptaan, media penyampai isi (bahasa), dan elemen – elemen fiksional atau unsur fiksi yang membangun karya fiksi. Bentuk-bentuk karya fiksi, misalnya : roman, novel, novelet, dan cerpen. Setting dalam prosa fiksi dapat diartikan dengan latar peristiwa dalam karya fiksi, baik yang berupa tempat, waktu, atau peristiwa yang memiliki fungsi fisikal dan  psikologis.
                Gaya merupakan cara pengarang untuk menyampaikan gagasannya dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi dan media bahasa yang indah yang mampu memanipulasi emosi pembaca. Untuk mengetahui dengan mudah watak dari tokoh yang ada dalam karya fiksi bisa dilakukan dengan cara: tuturan pengarang, gambaran yang diberi pengarang, menunjukkan perilakunya, cara berbicara tokok tentang dirinya, memahami jalan pikirannya, pembicaraan tokoh lain tentangnya, cara berbicara tokoh lain dengannya, melihat reaksi tokoh lain terhadapnya, dan melihat reaksi tokoh itu terhadap orang lain.
                Alur didalam karya fiksi biasanya merupakan rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan peristiwa, sehingga terbentuklah suatu cerita yang dihadirkan para tokoh dalam suatu kissah. Bagi pengarang, plot adalah suatu kerangka karangan yang dijadikan pedoman untuk menulis dan mengembangkan isi cerita. Sedangkan bagi pembaca, plot merupakan pemahaman terhadap keseluruhan isi cerita secara urut dan jelas. Titik pandang adalah cara pengarang untuk menampilkan para tokoh dalam cerita yang ditulisnya. Tema adalah gagasan yang mendasari suatu cerita yang memiliki peran sebagai batas

Re

" LUCUNYA NEGERI INI "

Saat matahari merapat di ufuk barat
ku duduk di baringan teras rumah
bersama ayahku mengharapkan secerca harapan
hanya untuk kemajuan negeri ini......

Sungguh lucunya negeri ini!!
maling sapi dihukum mati
tapi korupsi di biarkan menjadi
ada yang masuk jeruji besi
tapi ada yang nonton tenis di Bali!!!


Dimana petingi negeri ini???
Hingga negeri ini runtuh sendiri??
Apakah hanya berdiam diri???
Hei para petinggi negeri!!!
kau hanyalah seorang biang keladi!!!
Melelang janji - janji basi
hanya untuk melampiaskan nafsumu sendiri!!
Sebenarnya kau ini siapa???
Pemimpin bangsa??
Ataukah hanya.....
Seorang penggelembung dana negara???
Kau hanyalah.....
tikus berdasi yang duduk di kursi empuk
di hiasi dengan baju berdasi
serta sepatu mengkilap
Sepatumu yang mengkilap....
itulah yang menyilaukan hatimu
sampai - sampai kau merampas hak kami
dan juga menghancurkan...
secerca harapan untuk kemajuan negeri ini...
Kau memang tak pantas...
hidup di bumi pertiwi ini..
lebih baik kau hidup.....
dibalik tralis besi....
dengan uang milyaran - milyaranmu tadi


Mencoba Mengerti Puisi Tingkat Tinggi

Anda sering membaca karya-karya puisi yang dimuat di surat kabar atau tulisan “sastrawan” tenar? Jika iya, apa pendapat Anda terhadap sebagian besar puisi-puisi tersebut? Stop! Tentu saja pertanyaan ini terutama tentu saya tujukan bagi rekan-rekan yang levelnya nggak jauh-jauh amat dengan saya, tentang pengetahuannya pada karya “sastra”. Yakni menyukai namun tak memiliki basic keilmuan tersebut. Bagi yang merasa lebih mengerti, nantinya jika tak keberatan bersedia memberikan pencerahan.

Kembali ke pertanyaan saya tadi, apa pendapat Anda? Mungkin kita akan berkata puisi mereka bagus, indah, ataupun menarik. Tapi ketika berlanjut pada apa sih makna puisi tersebut? Jawabannya bisa jadi adalah “nggak ngerti”, he…he. Iya kan? Kalau saya terus terang, iya. Atau, untuk berpura-pura menyamarkan ketidakmengertian itu, saya akan mengatakan,…itu puisi “kelas tinggi” yang “dalem” banget maknanya.

Oke. Saya serahkan kepada Anda untuk mendefinisikan puisi itu apa. Puisi adalah A, atau puisi adalah B dan C. Suatu hal yang saya setujui adalah, di dalam karya puisi itu terdapat ekspresi batin dari penciptanya, dituangkan dalam kalimat yang cenderung singkat, menggunakan bahasa yang indah. Seringkali menggunakan perumpamaan, kiasan dan sebagainya. Dan tak lupa, bahkan bisa menjadi bagian utamanya adalah ada pesan/pendapat yang ingin disampaikan.

Nah, karena di sana ada unsur ekspresi (jiwa/batin), mau tak mau saya pun mengakui bahwa dalam puisi terdapat hal yang harus lebih digali dan dihayati. Bukan hanya pilihan kata (diksi) ataupun kesamaan/pengulangan bunyi (rima), pokoknya ada kesamaan bunyi pada akhir baris di tiap baitnya. Mudah-mudahan tidak dianggap berlebihan, jika saya mengatakan itulah yang membedakan adanya “nyawa” / “ruh” dalam puisi itu atau tidak.

Namun, ada pula hal yang selama ini mengganjal. Yakni, apakah puisi-puisi yang “berkelas tinggi” itu selalu tak mudah dimengerti? Atau hanya mampu dimengerti oleh “kelas-kelas” khusus pula, yang mungkin memiliki “tataran keilmuan” yang sama? Apakah memang puisi itu egois, hanya untuk dinikmati komunitas khusus yang mengerti saja? Bagi masyarakat umum yang ingin mengerti harus belajar sekian semester di fakultas sastra?

Karena, terus terang sering kita disajikan karya-karya puisi yang “di luar jangkauan” saat membacanya di surat kabar. Jarang sekali di sana menemui karya puisi yang terasa indahnya dan tak sulit menangkap maknanya. Yang jamak dialami adalah merasakan indahnya, tapi tak mengerti maknanya. Atau bahkan, tak menemui keindahannya, apalagi makna dan pesannya. Lalu darimana tahu kalau itu puisi bagus? Karena dimuat! Redakturnya mampu memahami dan mungkin kita saja yang levelnya “belum nyampe” untuk mengerti.

Banyak yang mengatakan, untuk sebuah karya puisi, penikmatnya diberi kebebasan untuk memaknai sesuai ekspresinya masing-masing. Tapi, menurut saya, alangkah baiknya mengerti terlebih dahulu sebelum memaknai. Kalau untuk mencoba mengerti saja masih sulit, apalagi ketika hendak memaknai.

Ketika kita menemui puisi yang terasa indah, menggetarkan, ataupun menggelitik naluri estetika kita, namun kesulitan untuk mengerti maknanya, tentu tetap berusaha menikmatinya. Jika perlu, bacalah berulang-ulang, bandingkan perumpamaan yang ada dengan gerak laku kehidupan, resapi dan hayati guna menangkap apa yang hendak disampaikan oleh penulisnya.

Mungkin, apa yang kita tangkap kemungkinan berbeda dengan maksud penulisnya. Tapi, itu pun sah-sah saja, bukankah kita diberi kebebasan memaknainya? Namun, sepertinya akan lebih mengena jika terhadap puisi yang “misterius” itu dijadikan bahan diskusi secara bersama-sama, syukur-syukur penulisnya pun ikut serta (bedah puisi).

Sebagai penutup, mari kita menikmati bersama karya-karya puisi di bawah ini.

Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Siapa yang tak kenal puisi Pak Sapardi ini? Seperti yang saya katakan tadi, ada puisi yang indah, bernyawa, dan mudah dimengerti.
Tangan Kecil
Tangan kecil hujan
menjatuhkan embun
ke celah bibirmu,
meraba demam pada lehermu,
dan dengan takzim
membuka kancing bajumu.

Tangan kecil malam

menyusup pelan

ke dalam hangatmu,

menemukan aku

yang sedang bergila-gila

di suhu tubuhmu.

Puisi yang saya dapat dari blognya Joko Pinurbo ini, secara pribadi, terus terang saya merasakan keindahan dan “nyawa” di sana. Dan meskipun tak mudah, ada keasyikan dalam upaya “menerjemah”kan maknanya.

Penderes
Melenguh
Kian patah sendi hela nafas
Paha menggulung lekuk tepian
Angkuh gagah menjulang awan
Depa kian merambat
Peluk lengan melekat gurat
Telanjang dada alur keringat
Menuju puncak
.
Lelahku tak sempat
Jika aku terjerembab
Kecup manis itu
Lenyap tanpa sesap
Nah,

Prosa

Old book bindings.jpgProsa adalah suatu jenis tulisan yang dibedakan dengan puisi karena variasi ritme (rhythm) yang dimilikinya lebih besar, serta bahasanya yang lebih sesuai dengan arti leksikalnya. Kata prosa berasal dari bahasa Latin "prosa" yang artinya "terus terang". Jenis tulisan prosa biasanya digunakan untuk mendeskripsikan suatu fakta atau ide. Karenanya, prosa dapat digunakan untuk surat kabar, majalah, novel, ensiklopedia, surat, serta berbagai jenis media lainnya.prosa juga dibagi dalam dua bagian,yaitu prosa lama dan prosa baru,prosa lama adalah prosa bahasa indonesia yang belum terpengaruhi budaya barat,dan prosa baru ialah prosa yang dikarang bebas tanpa aturan apa.











Jenis-jenis prosa

Prosa biasanya dibagi menjadi empat jenis:
  • Prosa naratif
  • Prosa deskriptif
  • Prosa eksposisi
  • Prosa argumentatif

Prosa lama

Prosa lama merupakan karya sastra yang belum mendapat pengaruh dari sastra atau kebudayaan barat. Karya sastra prosa lama yang mula-mula timbul disampaikan secara lisan, disebabkan karena belum dikenalnya bentuk tulisan. Setelah agama dan kebudayaan Islam masuk ke indonesia, masyarakat menjadi akrab dengan tulisan, bentuk tulisan pun mulai banyak dikenal. Sejak itulah sastra tulisan mulai dikenal dan sejak itu pulalah babak-babak sastra pertama dalam rentetan sastra indonesia mulai ada. Adapun bentuk-bentuk sastra prosa lama adalah:

Hikayat

Hikayat, berasal dari India dan Arab, berisikan cerita kehidupan para dewi, peri, pangeran, putri kerajaan, serta raja-raja yang memiliki kekuatan gaib. Kesaktian dan kekuatan luar biasa yang dimiliki seseorang, yang diceritakan dalam hikayat kadang tidak masuk akal. Namun dalam hikayat banyak mengambil tokoh-tokoh dalam sejarah. Contoh: Hikayat Hang Tuah, Kabayan, si Pitung, Hikayat si Miskin, Hikayat Indra Bangsawan, Hikayat Panji Semirang, Hikayat Raja Budiman.

Sejarah

Sejarah (tambo), adalah salah satu bentuk prosa lama yang isi ceritanya diambil dari suatu peristiwa sejarah. Cerita yang diungkapkan dalam sejarah bisa dibuktikan dengan fakta. Selain berisikan peristiwa sejarah, juga berisikan silsilah raja-raja. Sejarah yang berisikan silsilah raja ini ditulis oleh para sastrawan masyarakat lama. Contoh: Sejarah Melayu karya datuk Bendahara Paduka Raja alias Tun Sri Lanang yang ditulis tahun 1612.

Kisah

Kisah, adalah cerita tentang cerita perjalanan atau pelayaran seseorang dari suatu tempat ke tempat lain. Contoh: Kisah Perjalanan Abdullah ke Negeri Kelantan, Kisah Abdullah ke Jedah.

Dongeng

Dongeng, adalah suatu cerita yang bersifat khayal. Dongeng sendiri banyak ragamnya, yaitu sebagai berikut:
  • Fabel, adalah cerita lama yang menokohkan binatang sebagai lambang pengajaran moral (biasa pula disebut sebagai cerita binatang). Contoh: Kancil dengan Buaya, Kancil dengan Harimau, Hikayat Pelanduk Jenaka, Kancil dengan Lembu, Burung Gagak dan Serigala, Burung bangau dengan Ketam, Siput dan Burung Centawi, dan lain-lain.
  • Mite (mitos), adalah cerita-cerita yang berhubungan dengan kepercayaan terhadap sesuatu benda atau hal yang dipercayai mempunyai kekuatan gaib. Contoh: Nyai Roro Kidul, Ki Ageng Selo, Dongeng tentang Gerhana, Dongeng tentang Terjadinya Padi, Harimau Jadi-Jadian, Puntianak, Kelambai, dan lain-lain.
  • Legenda, adalah cerita lama yang mengisahkan tentang riwayat terjadinya suatu tempat atau wilayah. Contoh: Legenda Banyuwangi, Tangkuban Perahu, dan lain-lain.
  • Sage, adalah cerita lama yang berhubungan dengan sejarah, yang menceritakan keberanian, kepahlawanan, kesaktian dan keajaiban seseorang. Contoh: Calon Arang, Ciung Wanara, Airlangga, Panji, Smaradahana, dan lain-lain.
  • Parabel, adalah cerita rekaan yang menggambarkan sikap moral atau keagamaan dengan menggunakan ibarat atau perbandingan. Contoh: Kisah Para Nabi, Hikayat Bayan Budiman, Bhagawagita, dan lain-lain.
  • Dongeng jenaka, adalah cerita tentang tingkah laku orang bodoh, malas atau cerdik dan masing-masing dilukiskan secara humor. Contoh: Pak Pandir, Lebai Malang, Pak Belalang, Abu Nawas, dan lain-lain.

Cerita berbingkai

Cerita berbingkai, adalah cerita yang didalamnya terdapat cerita lagi yang dituturkan oleh pelaku-pelakunya. Contoh: Seribu Satu Malam.

Bentuk-bentuk prosa baru

Prosa baru adalah karangan prosa yang timbul setelah mendapat pengaruh sastra atau budaya Barat. Bentuk-bentuk prosa baru adalah sebagai berikut:

Roman

Roman adalah bentuk prosa baru yang mengisahkan kehidupan pelaku utamanya dengan segala suka dukanya. Dalam roman, pelaku utamanya sering diceritakan mulai dari masa kanak-kanak sampai dewasa atau bahkan sampai meninggal dunia. Roman mengungkap adat atau aspek kehidupan suatu masyarakat secara mendetail dan menyeluruh, alur bercabang-cabang, banyak digresi (pelanturan). Roman terbentuk dari pengembangan atas seluruh segi kehidupan pelaku dalam cerita tersebut.
Berdasarkan kandungan isinya, roman dibedakan atas beberapa macam, antara lain sebagai berikut:
  • Roman transendensi, yang di dalamnya terselip maksud tertentu, atau yang mengandung pandangan hidup yang dapat dipetik oleh pembaca untuk kebaikan. Contoh: Layar Terkembang oleh Sutan Takdir Alisyahbana, Salah Asuhan oleh Abdul Muis, Darah Muda oleh Adinegoro.
  • Roman sosial adalah roman yang memberikan gambaran tentang keadaan masyarakat. Biasanya yang dilukiskan mengenai keburukan-keburukan masyarakat yang bersangkutan. Contoh: Sengsara Membawa Nikmat oleh Tulis St. Sati, Neraka Dunia oleh Adinegoro.
  • Roman sejarah yaitu roman yang isinya dijalin berdasarkan fakta historis, peristiwa-peristiwa sejarah, atau kehidupan seorang tokoh dalam sejarah. Contoh: Hulubalang Raja oleh Nur St. Iskandar, Tambera oleh Utuy Tatang Sontani, Surapati oleh Abdul Muis.
  • Roman psikologis yaitu roman yang lebih menekankan gambaran kejiwaan yang mendasari segala tindak dan perilaku tokoh utamanya. Contoh: Atheis oleh Achdiat Kartamiharja, Katak Hendak Menjadi Lembu oleh Nur St. Iskandar, Belenggu oleh Armijn Pane.
  • Roman detektif merupakan roman yang isinya berkaitan dengan kriminalitas. Dalam roman ini yang sering menjadi pelaku utamanya seorang agen polisi yang tugasnya membongkar berbagai kasus kejahatan. Contoh: Mencari Pencuri Anak Perawan oleh Suman HS, Percobaan Seria oleh Suman HS, Kasih Tak Terlerai oleh Suman HS.

Novel

Novel berasal dari Italia. yaitu novella ‘berita’. Novel adalah bentuk prosa baru yang melukiskan sebagian kehidupan pelaku utamanya yang terpenting, paling menarik, dan yang mengandung konflik. Konflik atau pergulatan jiwa tersebut mengakibatkan perubahan nasib pelaku. lika roman condong pada idealisme, novel pada realisme. Biasanya novel lebih pendek daripada roman dan lebih panjang dari cerpen. Contoh: Ave Maria oleh Idrus, Keluarga Gerilya oleh Pramoedya Ananta Toer, Perburuan oleh Pramoedya Ananta Toer, Ziarah oleh Iwan Simatupang, Surabaya oleh Idrus.

Cerpen

Cerpen adalah bentuk prosa baru yang menceritakan sebagian kecil dari kehidupan pelakunya yang terpenting dan paling menarik. Di dalam cerpen boleh ada konflik atau pertikaian, akan tetapi hal itu tidak menyebabkan perubahan nasib pelakunya. Contoh: Radio Masyarakat oleh Rosihan Anwar, Bola Lampu oleh Asrul Sani, Teman Duduk oleh Moh. Kosim, Wajah yang Bembah oleh Trisno Sumarjo, Robohnya Surau Kami oleh A.A. Navis.

Riwayat

Riwayat (biografi), adalah suatu karangan prosa yang berisi pengalaman-pengalaman hidup pengarang sendiri (otobiografi) atau bisa juga pengalaman hidup orang lain sejak kecil hingga dewasa atau bahkan sampai meninggal dunia. Contoh: Soeharto Anak Desa, Prof. Dr. B.J Habibie, Ki Hajar Dewantara.

Kritik

Kritik adalah karya yang menguraikan pertimbangan baik-buruk suatu hasil karya dengan memberi alasan-alasan tentang isi dan bentuk dengan kriteria tertentu yang sifatnya objektif dan menghakimi.

Resensi

Resensi adalah pembicaraan / pertimbangan / ulasan suatu karya (buku, film, drama, dll.). Isinya bersifat memaparkan agar pembaca mengetahui karya tersebut dari berbagai aspek seperti tema, alur, perwatakan, dialog, dll, sering juga disertai dengan penilaian dan saran tentang perlu tidaknya karya tersebut dibaca atau dinikmati.

Esai

Esai adalah ulasan / kupasan suatu masalah secara sepintas lalu berdasarkan pandangan pribadi penulisnya. Isinya bisa berupa hikmah hidup, tanggapan, renungan, ataupun komentar tentang budaya, seni, fenomena sosial, politik, pementasan drama, film, dll.

Sebuah Cerpen Sastra- Rumah Reyot

13 March 2011 § Leave a comment
Sepertinya terlalu lama aku berteman dengan diam hingga aku selalu membisu. Di ruang sebesar ini, hiruk pikuk terdengar menggelegar. Suara petir dari kejauhan seakan menghantam keras setiap tiang tipis yang berdiri di atap rumah. Menutup telingapun aku tidak sanggup. Hanya bisa membiarkan suara menjalar dalam keheninganku. Dan aku tetap diam.
Bosan? Mungkin ya. Setiap aku bersuara, hanya topeng yang terlihat jelas. Bagaimana bisa aku dikatakannya menuntut? Rumah besar terlihat reyot. Rumah yang dibeli mereka puluhan tahun lalu sebagai rasa cinta, dipecahkan begitu saja. Tua yang kokoh menjadi seperti kepingan pecahan gelas. Terlihat utuh, namun hancur berkeping.
Masih, aku masih diam. Menatap hampa dari tempatku berdiri. Masih, aku berdiri di dalam rumah reyot yang besar dan tua. Masih, terdengar setiap kericuhan yang berteriak-teriak sejak aku terlahirkan. Masih, aku merasakan bertapa menyedihkannya hidupku.
Karena aku diam, aku semakin mendengar. Rutinitas yang sama, celoteh yang tidak bervariasi, omelan yang dipaksakan. Semua tertuju pada mereka yang tinggal di dalam rumah. Sampai detik terakhir musik dimatikan, dia masih seperti nenek sihir yang siap memberikan apel beracun pada keluarganya.
Menyahat hati, menjadikanku sulit melihat cinta yang telah aku kenal sejak kecil. Rumah yang kata mereka dan Dia tempat aku bisa menemukannya, kenyataannya tidak. Lagi, hanya hiruk pikuk.
Diam, sepi. Sekarang tidak ada lagi musik. Bahkan tidak ada lagi teriak nenek sihir itu. Diam, hening. Tentramkah? Semoga.
Aku masih berdiri. Apa yang tersisa? Cinta? Benci? Hanya ada benang tipis yang tidak bisa aku gunting bahkan sampai malaikat menjemput.
Aku tersenyum sejenak, memikirkan kebodohannya, kebencianku, cintanya, dan topengnya, akhirnya menjadi sakitku.
Diam. Semua membacakan doa. Semua memandang pada satu tubuh. Di dalam rumah reyot, yang sepi terdengar suara ramai seucap doa. Air mataku mengalir membasahi pipiku, turun mengenai bibirku. Tidak ada lagi rasa. Hanya ada diam bersamaku.
Terlambat? Tidak ada sesal, tidak ada hari, tidak ada terlambat. Semua sudah pada waktunya. Hanya aku yang tersisa bersama diam tanpa memaafkan. Membuat perjalanan terasa berat. Rumah reyot tidak lagi utuh. Karena satu per satu meninggalkannya. Sejak gelas dipecahkan. Bahkan maafpun tidak sempat bersahabat bersama cinta. Karena diam telah menjadi teman lama dan akhirnya sesal terus menghantui rumah reyot, nomor 7. Mereka belum pergi dan tetap diam. Sedangkan aku? Sama,tetap diam. Karena tubuhku tidak lagi utuh, hanya tersisa debu abu dari tulang yang terbakar.
Namun, sekarang aku bisa mendengar, suara asli nenek sihir penghuni rumah reyot. Seucap doa dan kata maaf di penghujung hariku. Semoga belum terlambat.

Rabu, 19 November 2014

Penilaian sebuah puisi berawal dari interpretasi. Interpretasi tentang keindahan dari satu puisi. Karena indah itu sangat subjektif sifatnya, maka para ahli merasa perlu menentukan yang disebut puisi indah itu apa.
 Walaupun pada kenyataannya ketentuan itu kembali menjadi bermacam-macam bergantung pada paradigma keilmuan dan perspektif para ilmuan yang menentukannya.
Puisi bisa dinilai bergantung pada kepentingan apa kita ‘membaca’ puisi tersebut.
 Apakah penilaian bagian dari kritikan atau apresiasi? Dua-duanya bisa dipakai bergantung dari perspektif mana kita melihat. Penilaian pada sebuah puisi dianggap bagian dari kritikan adalah ya.
 Kritikan tertinggi.
 Sehingga pembaca mampu menentukan puisi yang ‘baik’, ‘bermutu’ itu seperti apa. 
Penilaian sebuah puisi dianggap dari apresiasi adalah juga ya. Menghargai puisi (karya seni) dengan tingkat tinggi adalah dengan menilai.
Karena dari perspektif kritik dan apresiasi bermuara pada evaluasi, maka kemudian berkembanglah perangkat penilaiannya. 

Bermacam-macam aliran dan alat ukur ditawarkan para ahli (baik praktisi maupun akademisi). Terutama di Barat, kriteria penilaian karya sastra begitu beragam. Kalau para penyair konvesional menyebut keberhasilan puisi cukup dengan membuat kita tertegun dan terkagum-kagum, itu tidak salah, tetapi tidak bisa diuraikan bentuk ketertegunan dan keterkaguman itu. Nah, para ahli dari barat mensistematikakan penilaian tersebut dengan kritreria-kriteria karya seni (walaupun sebenarnya sangat-sangat terpengaruh filsafat positivistik; ideologi materi yang secara umum diterapkan pada ilmu matematika dan pengetahuan alam; sain).
 

Penilaian estetik adalah menilai karya puisi dari struktur estetik, yaitu semua usaha yang terlihat susunannya dalam puisi: rima, irama, diksi, gaya bahasa, alur, konflik, humor, termasuk juga kebaruan dan kemampuan yang membuat orang terpesona. (Nah, penilaian para penyair atau pembaca konvensional masih sebatas ini ternyata).
Penilaian ekstra estetik adalah penilaian dari bahan-bahan karya puisi, yaitu: pemilihan kata-kata; bahasa, tingkah laku manusia, gagasan, sikap (di antaranya spontanitas), intension (niat) dan apapun yang sebelumnya berada di luar karya puisi itu sendiri. Dalam puisi yang berhasil, bahan-bahan tersebut terjalin dalam hubungan-hubungan yang bermacam-macam oleh dinamika-dinamika tujuan estetik.

Sebuah karya sastra yang bernilai tinggi, selain berdasarkan pada susunan yang terlihat (estetik) juga berbahankan pada bahan-bahan yang besar. Kebesarannya (agung) adalah bila puisi tersebut mengekspresikan nilai yang besar. Nilai-nilai kehidupan yang besar itu diantaranya meliputi pikiran-pikiran yang tinggi atau cemerlang, perwatakan yang kompleks, cerita yang hebat, dan menawarkan renungan (kontemplasi).
Dengan demikian, sebuah puisi yang bernilai sastra (tinggi) adalah sebuah karya yang indah dan mengandung kreativitas (estetik), juga memuat pikiran-pikiran tinggi dan gambaran-gambaran kehidupan yang mempesonakan (ekstra estetik).
Dengan demikian pula, kita tidak bisa menafikan puisi tersebut dengan menyebut ‘tidak bermutu’, ‘tidak bernilai’, ‘tidak bernilai sastra’ dan semacamnya bila kehilangan salah satu unsur kecil dari bagian unsur besar (estetik & ekstra estetik) –karena tidak ada zat yang sempurna kecuali pembuat manusia! Jika tidak ada salah satu dari keduanya (estetik atau ekstra estetik tidak ada), penilai boleh menyebut bahwa puisi tersebut ‘kurang bernilai atau kurang bernilai sastra’ bahkan ‘tidak bagus’.

Uraian di atas adalah melihat penilaian puisi dari keobjektivan karya. Dalam kenyataannya menilai puisi juga bisa bergantung pada penilai. Mampu tidaknya penilai menghadirkan jarak dirinya dari karya dan penyairnya, atau menekan seminimal mungkin praduga negatif yang memenuhi pikirannya dalam menilai puisi menjadi sesuatu yang penting dikritisi.
Seperti disebutkan sebelumnya, bahwa soal keindahan adalah soal subjektif yang sesuai dengan selera, penghayatan, dan pengalaman pembaca kritis (penilai). Apalagi bila dibebani dengan kepentingan-kepentingan lain, definisi keindahan yang seharusnya diterapkan seobjektif mungkin menjadi bias. Apalagi dengan ditambah kesan yang salah akan membentuk opini pembaca lain terhadap puisi tersebut.
Lalu, jika penilai menyebut ada puisi yang kehilangan ‘spontanitas’. Apakah itu?
Spontanitas dalam KBBI adalah: 1) kesertamertaan dan 2) perbuatan yang wajar, bebas dari pengaruh orang lain dan tanpa pamrih. Nah, spontanitas yang disebut penilai ini harus dijelaskan. Spontanitas yang pertama merujuk pada unsur estetik (hal-hal yang bisa dilihat dari puisi), sedangkan spontanitas yang kedua merujuk pada unsur ekstra estetik (khususnya: sikap penyair).
Jika penilai merujuk spontanitas yang pertama, harus dijelaskan apa dan bagaimana sehingga puisi tersebut disebut kehilangan kesertamertaannya? Bukannya puisi adalah spontanitas kata-kata yang meluncur seketika ketika rasa sudah memuncak (intens). Mana mungkin rasa yang keluar dengan dilandasi kejujuran terhadap apa yang dirasakannya dapat berbohong?
Jikapun penilai merujuk spontanitas yang kedua, tidak wajar? Tidak pamrih? dan sebagainya, harus dijelaskan ketidakwajarannya. Kalau ketidakwajarannya dalam gaya bahasa misalnya, bukankah hiperbola adalah sarana ungkap yang dibutuhkan secara wajar oleh penyair untuk mewadahi tujuan puisinya? Dan bagaimana bisa menyebut tidak wajar pada sikap penyair bila ada kedekatan jarak yang tidak diminimalisir atau tepatnya subjektivitas yang besar yang menempatkan posisi penyair menjadi inferior? Padahal penyair dalam mengekspresikan gagasannya tanpamrih atau tulus dan jujur dan integritasnya bisa dipertanggungjawabkan.
Apakah ini tidak berlebihan bahkan bisa dianggap praduga penilai yang menyesatkan dan menjatuhkan?

Dari uraian panjang di atas, ditarik kesimpulan bahwa:
1) puisi adalah karya sastra yang merupakan karya seni yang bisa dinilai dengan kriteria objektif –walaupun tidak ada norma keindahan yang objektif. Objektif di sini maksudnya berpegang pada teori atau kriteria tertentu dengan definisi yang jelas,
2) menilai puisi adalah menilai karya seni yang melandaskan penilaiannya pada unsur estetik dan ekstra estetik (hal-hal yang tersusun; terlihat; terbaca oleh pembaca dan bahan-bahan puisi; yang tidak terlihat dan kemudian diwujudkan melalui interpretasi pembaca/penilai),
3) sikap penilai yang harus bersikap objektif –meminimalisir subjektivitasnya selaku penilai dan menjelaskan maksudnya dengan tidak taksa (ambigu) kepada pembaca lainnya sebagai bentuk tanggung jawab keahliannya menilai.
Selain itu, disarankan:
1) Penilai atau pembaca ahli berpegang pada definisi-definisi yang bisa dipertanggungjawabkan karena menilai berarti memberikan pengetahuan baru yang wajar dan jujur pada pembaca, karena boleh jadi penilai dianggap ahli yang dirujuk pernyataannya oleh pemaca awam.
2) Penilai atau pembaca ahli sepatutnya memperlihatkan hal-hal yang memperlihatkan keseimbangan integritas dalam menilai (menguraikan kelebihan-kelebihan selain menjelaskan kelemahan-kelemahan puisi atau karya).

Buku : Tanah Ilalang di Kaki Langit karya Rini Intama

Tinggalkan komentar
NEGERI ini punya tanah yang bisa bercerita soal sejarah
NEGERI ini ada banyak budaya yang bisa bercerita bagaimana kita punya asa dan menjaga
NEGERI ini punya Alam yang bisa bercerita bagaimana Alam terus menjaga mimpinya
Tanah Ilalang di kaki langit,  Penulis : Rini Intama
Tata letak /sampul : Diandracreative design, Penerbit : Pustaka Senja
Cetakan pertama : Juli 2014,  Jogyakarta Diandra Creative 2014
halaman  :  107 hal, kertas :  bookpaper 14 x 20 cm
ISBN  : 978-602-1638-35-4
Dicetak oleh :  Diandra creative offset dan printing, Hak Cipta di lindungi oleh Undang-undang
Harga Rp. 30.000,-  (belum termasuk ongkir)
pemesanan hanya melalui, inbox Facebook  : Rini Intama, sms  081389192708, Twitter : rini_intama
bukuTanahku
Puisi-puisi Rini Intama dalam buku “Tanah Ilalang di Kaki Langit” ini terdiri dari tujuh subjudul, yang menyiratkan kepedulian sang penyair terhadap berbagai permasalahan yang ia jumpai dalam kehidupan. Nampaknya penyair adalah seorang pengamat, ‘pembaca’, dan penulis yang tak pernah melewatkan moment untuk berkontemplasi. Dalam banyak puisinya, ia mengangkat tempat-tempat bersejarah dan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi, bahkan beberapa di antaranya disertakan penjelasan tentang tempat/peristiwa yang dipuisikan. Menjadi sedemikian elok, karena dalam beberapa puisinya, ia tidak sekedar mendeskripsikan yang diamati, tetapi lebih jauh mengekspresikan juga perasaan-perasaannya, sehingga puisi yang tercipta menjadi sedemikian menyentuh, seperti yang berikut ini :
A Yin terus menulis kisah Cina Benteng / di atas batu juga tanah ini dan pada kelopak mawar yang menyimpan embun / entah berapa langit / dan perjalanan sejarah yang menyimpan ribuan kisah sunyi / di ladang, di lembaran-lembaran sajak, di tiang-tiang dan benteng kota / hingga tanah gocap dan nisan-nisan diam yang terbelah // A Yin terus menunggu pijar-pijar kembang api/ lalu katanya, / aku masih membuat kue-kue keranjang dan secangkir teh hangat //
Membaca penggalan puisi berjudul “A Yin “ di atas, perasaan pembaca ikut ‘diharu-biru’ oleh kesetiaan dan ketabahan karakter A Yin dalam mempertahankan tanah kelahiran dan adat-istiadat Cina di tengah perkembangan zaman.
Tema-tema yang diangkat dalam buku ini merupakan tema umum yang sering digarap oleh para penyair lain, misalnya tentang cinta, tentang tanah air, persoalan perempuan, permenungan tentang hakikat hidup, dan tentang berbagai peristiwa. Meskipun mengangkat tema umum, di tangan Rini, puisi-puisi yang dilahirkan menjadi sedemikian hidup. Kemahiran Rini mengolah kata dan kalimat memudahkan pembaca mengembangkan imajinasi, bahkan serasa diseret ke dalam suasana batin yang dihadirkan. Pada puisi “Nyanyian Alam”, penyair berhasil mengetengahkan suasana indah melalui diksi yang tepat, sekaligus membawa pembaca masuk dalam permenungan tentang kehidupan manusia yang satu sama lain saling membutuhkan dan saling harga-menghargai. //Manusia saling mengajari dan mencintai// Gunung, lembah, sungai, saling menjaga mimpi//
Dengan berbagai keunggulan yang dimiliki Rini dalam mengolah pemikiran dan perasaan menjadi puisi yang bermakna, saya yakin, buku ini layak mendapat tempat di hati pembaca serta bermanfaat bagi khazanah sastra Indonesia.
(Dhenok Kristianti, Guru & Penyair, tinggal di Denpasar )
Di sini tampak begitu jelas bahwa penulis adalah bagian keseriusan dari setiap alur nafas puisi-puisi yang dihanyutkan pada sungai-sungai kreatifitasnya, puisi dengan konsep pembagian tema demi tema; sejarah maka sejarahlah ia, perjalanan maka perjalananlah ia, waktu maka waktulah ia, negeri maka negerilah ia, cinta maka cintalah ia, perempuan maka perempuanlah ia, dan kisah demi kisah pun mengalir sebagaimana perahu-perahu puisi atas riak-riaknya; puisi-puisi dalam kumpulan ini menukik tajam, misalnya terbaca: … hingga kesaksian sejarah yang tertulis dalam kertas-kertas rapuh dan membusuk (Tanah Ilalang di Kaki Langit), pelayaran puisi-puisi sebagai buah manis lembut bergelora dari jemari lentik, seperti : … mengantarkan perahu berlayar dalam sahajanya dengan ribuan dayung dan nyanyian laut para pujangga (I La Galigo), mengalirlah ia seterusnya dalam ruang pembacaan kita, salam gumam asa (Ali Syamsudin Arsi, penyair, penulis, penggiat sastra, Pembina sanggar sastra Satu satu, ketua Forum Taman Hati, tinggal di Banjar baru – Kalimantan Selatan)
Satu-satunya kesalahan adalah dia bernama Rini Intama, punya hati punya rasa dan setia pada nurani. Ketika kemudian ia diperjalankan oleh takdir hidupnya dari satu peristiwa ke peristiwa, maka lahirlah yang namanya simpati, empati, keprihatinan, kegelisahan, juga pemberontakan. Dengan penuh cinta lalu ia lantunkan nyanyian jiwanya dengan santun melalui keindahan kata. membaca puisi Rini, akan terasa hidup ini indah.
Perempuan itu menulis puisi, menebar cinta lewat kata. dengan hati. Semua ia untai dalam estetika kata dan makna, dengan gayanya yang santun, yang membuat imagi terayun-ayun. perempuan itu menulis puisi, menebar cinta lewat kata. ( Abah Yoyok – penulis, penikmat dan penggiat sastra, pemilik sebuah Taman bacaan )

“Kegelisahan itu bernama Puisi. Begitulah Rini Intama mengolah batinnya, dia sengaja melakukan perjalanan untuk menemukan puisi itu sendiri, hingga di tubuhnya, puisi itu menjadi mata, tangan, kaki dan hatinya. Tidak bisa dipungkiri, kita menjadi getir setelah membacanya, seolah apa yang dipuisikan Rini Intama adalah hidup dalam kematian, begitu juga sebaliknya.” (Nana Sastrawan – Pendidik, penggiat sastra, penulis )

Kamis, 13 November 2014

''kumpulan puisi dan pengertain tentang anekdot


ANEKDOT  merupakan sebuah ungkapan atau kata kata yang lucu atau sindiran mengenai sesuatu ,teks anekdot benar adanya karna teks ini berisi bukan sebatas lucu atau menyindir tetapi sangaahan kepada orang lain agar mereka menjadi paham apa yang dimangsud dengan menubah tata bahasa yang menarik{tidak selalu lucu} .

 

berikut merupakan puisi yang diubahkedalam anekdot.

puisi anekdot yang saya kaji disini ialah berupa sindiran kepada orang lain dengan mangsud agar orang tersebut merasa dirinya salah,ataupun bebuat yang tidak baik, berikut merupakan teks yang tergolong anekdot .


puisi 1

''wujud dari anak manusia''

melontar aku berlari 

menyusuri lorong waktu tanpa pintu

gundakan batu gundah klana, 

memandangi diriku penuh peona

lalu sang asembari berkata "inilah wujud dari anak manusia"

kucampakan harga diriku demi memuaskan nafsu serakah

berpundak pundak harta

berlimpah limpah kekayaan 

ia jadikan sebagai pengatar tidur dongeng semata.

 

mangud dari puisi diatas ialah seorang wanita yang dilema oleh kehidupan ia hidup untuk mengidupi eluarganya walau hanya menjadi kupu kupu malam, ia tak tau mengapa para pria serakah selalu memanfaatkan wanita yang tak berdosa .

 

puisi 2

" indonesia baru"

lihatlah 69 tahun lalu

disaat nama "indonesia"ini masih terombang ambing

bukan untuk mencari penghargaan dari bangsa lain

tapi mencari jati diri suatu negeri

lambat laun masa revolusi berganti berbai kata orang peminpin negeri tak ada perubahan yang terjadi

lihat pula 69 tahun kemudian

begitu banyak slogan diantara peminpin negeri

yang mengatas namakan kepentingan rakyat

adakah satu sesosok peminpin negeri 

yang mengabdikan diri untuk negeri

menhapus gelombang kebanjiran yang meregut jiwa dan raga

atau meletakan 1 kaki dipenjara dan  kaki dineraka untuk para penahasut negeri dalam korupsi.

 

mangsud dari puisi tersebut ialah  peminpin neeri yang selalu berjanji bervisi misi tetapi itu hanya sebagai slogan, bukan sebagai pahlawan yang mengabdi diri kepada negeri ini.

 

 ANALISIS PUISI 

''SEBUAH SAJAK YANG KUTULIS UNTUK PERNYATAAN CINTAMU PADAKU''

 

unsur pendukung isi

  • judul

    diksi

    imajinasi

    lambang/kias

    tema

     

    unsur penunjang bentuk

    • firgur bahasa{majas}

      bunyi/suara

      irama

       

      unsur pembentuk puisi diatas:

      tema: pelampiasaan

      isi    : seseorang yang menyatakan cinta hanya sebagai permainanyang diungkapan tidak dengan hatinya,dimana ia gampang katakan cintalalu mudah puladia menyudahinya,orang tersebut menyatakan kesendirian yang meladnagnya ,pasanganya hanya dijadikan boneka yang bisa di permainkan tapa arti apapun dalam hatinya

      amanat:jangan memaafkan orang lain untuk mejadi pelampiasan kita semata.karena hanya dapat menyakini orang lain ,kalau kita memang cinta cintailah pasangan kita dengan tulus .karena itu membuat pasangan kita ataupun kita sendiri merasakan kebahagian yang didaat dari ketenagan hati.

       bahasa:bahasa yang digunakan adalah bahaa campuran namun masih mempertahankan niali estetika

      iamajinasi:ide perasaan benar benar enulis menuangkan kedalam setiap inci bait sehingga dengan membacanya pun kita seperti terhanyut dalam kesedihan yang ia alami/rasakan .

       

      komentar saya mengenai puisi tersebut;puisi tersebut sangat baik ,secara keseluruhan penulis sangat memperhatikan nilai atau curahan hati penulis yang ingin ia sampaikan ,dan saya sangat mengpriasikan,akan tetapi diksi atau majas yang digunakan masih bersifat umum atau belum terlalu berat sehimgga kurang cocok dikarnakan pemilihan kata yang sederhana.tetapi secara bahasa imajinasi tema amanat yang terkandung didalam nya sangat baik dan bermanfaat.


ANALISIS SEBUAH PUISI
''sebuah sajak yang kutulis untuk pernyataan cintamu padaku''


katakan kepadaku
apalah arti pernyataan cinta
yang tapi kau sampaikan tanpa perassaan mencintai
apalah arti perasaan mencintai
yang tapi kau ungkapkan tanpa kesedihan mencintai
apalah arti kesedian mencintai
yang tapi kau terakan tanpa kesadaran mencintai
apalah arti kau gulirkan tanpa gairah mencintai
apalah arti gairah mencintai
yang tapi buru buru kau sudahi

 kenangan atas pernyataan cintamu padaku
mejadi arang
yang menghubunganku 
dengan deret pengembaraan badanmu
terhadap tubuhku
sementara dirimu entah kau taruh dimana
dan hatimu entah kau lacikan di almari siapa

mengapa engkau mencintaiku
seperti entah siapa yang bertanya pada belasaan entah siapa 
soal nama jalan dan nomor dari sebuah rumah
yang ketika kausua telah mengelupas
semua cat temboknya?
 
mengapa engkau mencintaiku
seoalah kerana aku ni migrain
yang mengeram dibatok kepalamu
atau bahwa kerana aku inni seseg
yang menyumpsl rongga dadaku
sembari tak henti henti 
mendesakdesak degab jantungmu
yang mestinya sungai mengalir sungai dalam diri 

mengapa engkau mencintaiku
kerana ternyata sekedar
hanya lantaran kamu tak berdaya melawan kesepianmu
dan itulah sabab mengapa bagi dirimu
aku ini cuma sesuatu
yang menyerumpai semacam alat masturbasi yang rusak
yang tapi engkau enggan membuangnya

aku tak tau
kerana kamu menlanjur menjelma asmara bagiku