Mencoba Mengerti Puisi Tingkat Tinggi
Anda sering
membaca karya-karya puisi yang dimuat di surat kabar atau tulisan
“sastrawan” tenar? Jika iya, apa pendapat Anda terhadap sebagian besar
puisi-puisi tersebut? Stop!
Tentu saja pertanyaan ini terutama tentu saya tujukan bagi rekan-rekan
yang levelnya nggak jauh-jauh amat dengan saya, tentang pengetahuannya
pada karya “sastra”. Yakni menyukai namun tak memiliki basic keilmuan
tersebut. Bagi yang merasa lebih mengerti, nantinya jika tak keberatan
bersedia memberikan pencerahan.
Kembali ke pertanyaan
saya tadi, apa pendapat Anda? Mungkin kita akan berkata puisi mereka
bagus, indah, ataupun menarik. Tapi ketika berlanjut pada apa sih makna
puisi tersebut? Jawabannya bisa jadi adalah “nggak ngerti”, he…he. Iya
kan? Kalau saya terus terang, iya. Atau, untuk berpura-pura menyamarkan
ketidakmengertian itu, saya akan mengatakan,…itu puisi “kelas tinggi”
yang “dalem” banget maknanya.
Oke. Saya serahkan
kepada Anda untuk mendefinisikan puisi itu apa. Puisi adalah A, atau
puisi adalah B dan C. Suatu hal yang saya setujui adalah, di dalam karya
puisi itu terdapat ekspresi batin dari penciptanya, dituangkan dalam
kalimat yang cenderung singkat, menggunakan bahasa yang indah.
Seringkali menggunakan perumpamaan, kiasan dan sebagainya. Dan tak lupa,
bahkan bisa menjadi bagian utamanya adalah ada pesan/pendapat yang
ingin disampaikan.
Nah, karena di sana
ada unsur ekspresi (jiwa/batin), mau tak mau saya pun mengakui bahwa
dalam puisi terdapat hal yang harus lebih digali dan dihayati. Bukan
hanya pilihan kata (diksi) ataupun kesamaan/pengulangan bunyi (rima),
pokoknya ada kesamaan bunyi pada akhir baris di tiap baitnya.
Mudah-mudahan tidak dianggap berlebihan, jika saya mengatakan itulah
yang membedakan adanya “nyawa” / “ruh” dalam puisi itu atau tidak.
Namun, ada pula hal
yang selama ini mengganjal. Yakni, apakah puisi-puisi yang “berkelas
tinggi” itu selalu tak mudah dimengerti? Atau hanya mampu dimengerti
oleh “kelas-kelas” khusus pula, yang mungkin memiliki “tataran keilmuan”
yang sama? Apakah memang puisi itu egois, hanya untuk dinikmati
komunitas khusus yang mengerti saja? Bagi masyarakat umum yang ingin
mengerti harus belajar sekian semester di fakultas sastra?
Karena, terus terang
sering kita disajikan karya-karya puisi yang “di luar jangkauan” saat
membacanya di surat kabar. Jarang sekali di sana menemui karya puisi
yang terasa indahnya dan tak sulit menangkap maknanya. Yang jamak
dialami adalah merasakan indahnya, tapi tak mengerti maknanya. Atau
bahkan, tak menemui keindahannya, apalagi makna dan pesannya. Lalu
darimana tahu kalau itu puisi bagus? Karena dimuat! Redakturnya mampu
memahami dan mungkin kita saja yang levelnya “belum nyampe” untuk
mengerti.
Banyak yang
mengatakan, untuk sebuah karya puisi, penikmatnya diberi kebebasan untuk
memaknai sesuai ekspresinya masing-masing. Tapi, menurut saya, alangkah
baiknya mengerti terlebih dahulu sebelum memaknai. Kalau untuk mencoba
mengerti saja masih sulit, apalagi ketika hendak memaknai.
Ketika kita menemui
puisi yang terasa indah, menggetarkan, ataupun menggelitik naluri
estetika kita, namun kesulitan untuk mengerti maknanya, tentu tetap
berusaha menikmatinya. Jika perlu, bacalah berulang-ulang, bandingkan
perumpamaan yang ada dengan gerak laku kehidupan, resapi dan hayati guna
menangkap apa yang hendak disampaikan oleh penulisnya.
Mungkin, apa yang kita
tangkap kemungkinan berbeda dengan maksud penulisnya. Tapi, itu pun
sah-sah saja, bukankah kita diberi kebebasan memaknainya? Namun,
sepertinya akan lebih mengena jika terhadap puisi yang “misterius” itu
dijadikan bahan diskusi secara bersama-sama, syukur-syukur penulisnya
pun ikut serta (bedah puisi).
Sebagai penutup, mari kita menikmati bersama karya-karya puisi di bawah ini.
Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Siapa yang tak kenal
puisi Pak Sapardi ini? Seperti yang saya katakan tadi, ada puisi yang
indah, bernyawa, dan mudah dimengerti.
Tangan Kecil
Tangan kecil hujan
menjatuhkan embun
ke celah bibirmu,
meraba demam pada lehermu,
dan dengan takzim
membuka kancing bajumu.
Tangan kecil malam
menyusup pelan
ke dalam hangatmu,
menemukan aku
yang sedang bergila-gila
di suhu tubuhmu.
Puisi yang saya dapat
dari blognya Joko Pinurbo ini, secara pribadi, terus terang saya
merasakan keindahan dan “nyawa” di sana. Dan meskipun tak mudah, ada
keasyikan dalam upaya “menerjemah”kan maknanya.
Penderes
Melenguh
Kian patah sendi hela nafas
Paha menggulung lekuk tepian
Angkuh gagah menjulang awan
Depa kian merambat
Peluk lengan melekat gurat
Telanjang dada alur keringat
Menuju puncak
.
Lelahku tak sempat
Jika aku terjerembab
Kecup manis itu
Lenyap tanpa sesap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar