Penilaian sebuah puisi berawal dari interpretasi. Interpretasi
tentang keindahan dari satu puisi. Karena indah itu sangat subjektif
sifatnya, maka para ahli merasa perlu menentukan yang disebut puisi
indah itu apa.
Walaupun pada kenyataannya ketentuan itu kembali menjadi
bermacam-macam bergantung pada paradigma keilmuan dan perspektif para
ilmuan yang menentukannya.
Puisi bisa dinilai bergantung pada kepentingan apa kita ‘membaca’
puisi tersebut.
Apakah penilaian bagian dari kritikan atau apresiasi?
Dua-duanya bisa dipakai bergantung dari perspektif mana kita melihat.
Penilaian pada sebuah puisi dianggap bagian dari kritikan adalah ya.
Kritikan tertinggi.
Sehingga pembaca mampu menentukan puisi yang ‘baik’,
‘bermutu’ itu seperti apa.
Penilaian sebuah puisi dianggap dari
apresiasi adalah juga ya. Menghargai puisi (karya seni) dengan tingkat
tinggi adalah dengan menilai.
Karena dari perspektif kritik dan apresiasi bermuara pada evaluasi,
maka kemudian berkembanglah perangkat penilaiannya.
Bermacam-macam
aliran dan alat ukur ditawarkan para ahli (baik praktisi maupun
akademisi). Terutama di Barat, kriteria penilaian karya sastra begitu
beragam. Kalau para penyair konvesional menyebut keberhasilan puisi
cukup dengan membuat kita tertegun dan terkagum-kagum, itu tidak salah,
tetapi tidak bisa diuraikan bentuk ketertegunan dan keterkaguman itu.
Nah, para ahli dari barat mensistematikakan penilaian tersebut dengan
kritreria-kriteria karya seni (walaupun sebenarnya sangat-sangat
terpengaruh filsafat positivistik; ideologi materi yang secara umum
diterapkan pada ilmu matematika dan pengetahuan alam; sain).
Penilaian estetik adalah menilai karya puisi dari struktur estetik,
yaitu semua usaha yang terlihat susunannya dalam puisi: rima, irama,
diksi, gaya bahasa, alur, konflik, humor, termasuk juga kebaruan dan
kemampuan yang membuat orang terpesona. (Nah, penilaian para penyair
atau pembaca konvensional masih sebatas ini ternyata).
Penilaian ekstra estetik adalah penilaian dari bahan-bahan karya
puisi, yaitu: pemilihan kata-kata; bahasa, tingkah laku manusia,
gagasan, sikap (di antaranya spontanitas), intension (niat) dan apapun
yang sebelumnya berada di luar karya puisi itu sendiri. Dalam puisi yang
berhasil, bahan-bahan tersebut terjalin dalam hubungan-hubungan yang
bermacam-macam oleh dinamika-dinamika tujuan estetik.
Sebuah karya sastra yang bernilai tinggi, selain berdasarkan pada
susunan yang terlihat (estetik) juga berbahankan pada bahan-bahan yang
besar. Kebesarannya (agung) adalah bila puisi tersebut mengekspresikan
nilai yang besar. Nilai-nilai kehidupan yang besar itu diantaranya
meliputi pikiran-pikiran yang tinggi atau cemerlang, perwatakan yang
kompleks, cerita yang hebat, dan menawarkan renungan (kontemplasi).
Dengan demikian, sebuah puisi yang bernilai sastra (tinggi) adalah
sebuah karya yang indah dan mengandung kreativitas (estetik), juga
memuat pikiran-pikiran tinggi dan gambaran-gambaran kehidupan yang
mempesonakan (ekstra estetik).
Dengan demikian pula, kita tidak bisa menafikan puisi tersebut dengan
menyebut ‘tidak bermutu’, ‘tidak bernilai’, ‘tidak bernilai sastra’ dan
semacamnya bila kehilangan salah satu unsur kecil dari bagian unsur
besar (estetik & ekstra estetik) –karena tidak ada zat yang sempurna
kecuali pembuat manusia! Jika tidak ada salah satu dari keduanya
(estetik atau ekstra estetik tidak ada), penilai boleh menyebut bahwa
puisi tersebut ‘kurang bernilai atau kurang bernilai sastra’ bahkan
‘tidak bagus’.
Uraian di atas adalah melihat penilaian puisi dari keobjektivan
karya. Dalam kenyataannya menilai puisi juga bisa bergantung pada
penilai. Mampu tidaknya penilai menghadirkan jarak dirinya dari karya
dan penyairnya, atau menekan seminimal mungkin praduga negatif yang
memenuhi pikirannya dalam menilai puisi menjadi sesuatu yang penting
dikritisi.
Seperti disebutkan sebelumnya, bahwa soal keindahan adalah soal
subjektif yang sesuai dengan selera, penghayatan, dan pengalaman pembaca
kritis (penilai). Apalagi bila dibebani dengan kepentingan-kepentingan
lain, definisi keindahan yang seharusnya diterapkan seobjektif mungkin
menjadi bias. Apalagi dengan ditambah kesan yang salah akan membentuk
opini pembaca lain terhadap puisi tersebut.
Lalu, jika penilai menyebut ada puisi yang kehilangan ‘spontanitas’. Apakah itu?
Spontanitas dalam KBBI adalah: 1) kesertamertaan dan 2) perbuatan
yang wajar, bebas dari pengaruh orang lain dan tanpa pamrih. Nah,
spontanitas yang disebut penilai ini harus dijelaskan. Spontanitas yang
pertama merujuk pada unsur estetik (hal-hal yang bisa dilihat dari
puisi), sedangkan spontanitas yang kedua merujuk pada unsur ekstra
estetik (khususnya: sikap penyair).
Jika penilai merujuk spontanitas yang pertama, harus dijelaskan apa
dan bagaimana sehingga puisi tersebut disebut kehilangan
kesertamertaannya? Bukannya puisi adalah spontanitas kata-kata yang
meluncur seketika ketika rasa sudah memuncak (intens). Mana mungkin rasa
yang keluar dengan dilandasi kejujuran terhadap apa yang dirasakannya
dapat berbohong?
Jikapun penilai merujuk spontanitas yang kedua, tidak wajar? Tidak
pamrih? dan sebagainya, harus dijelaskan ketidakwajarannya. Kalau
ketidakwajarannya dalam gaya bahasa misalnya, bukankah hiperbola adalah
sarana ungkap yang dibutuhkan secara wajar oleh penyair untuk mewadahi
tujuan puisinya? Dan bagaimana bisa menyebut tidak wajar pada sikap
penyair bila ada kedekatan jarak yang tidak diminimalisir atau tepatnya
subjektivitas yang besar yang menempatkan posisi penyair menjadi
inferior? Padahal penyair dalam mengekspresikan gagasannya tanpamrih
atau tulus dan jujur dan integritasnya bisa dipertanggungjawabkan.
Apakah ini tidak berlebihan bahkan bisa dianggap praduga penilai yang menyesatkan dan menjatuhkan?
Dari uraian panjang di atas, ditarik kesimpulan bahwa:
1) puisi adalah karya sastra yang merupakan karya seni yang bisa
dinilai dengan kriteria objektif –walaupun tidak ada norma keindahan
yang objektif. Objektif di sini maksudnya berpegang pada teori atau
kriteria tertentu dengan definisi yang jelas,
2) menilai puisi adalah menilai karya seni yang melandaskan
penilaiannya pada unsur estetik dan ekstra estetik (hal-hal yang
tersusun; terlihat; terbaca oleh pembaca dan bahan-bahan puisi; yang
tidak terlihat dan kemudian diwujudkan melalui interpretasi
pembaca/penilai),
3) sikap penilai yang harus bersikap objektif –meminimalisir
subjektivitasnya selaku penilai dan menjelaskan maksudnya dengan tidak
taksa (ambigu) kepada pembaca lainnya sebagai bentuk tanggung jawab
keahliannya menilai.
Selain itu, disarankan:
1) Penilai atau pembaca ahli berpegang pada definisi-definisi yang
bisa dipertanggungjawabkan karena menilai berarti memberikan pengetahuan
baru yang wajar dan jujur pada pembaca, karena boleh jadi penilai
dianggap ahli yang dirujuk pernyataannya oleh pemaca awam.
2) Penilai atau pembaca ahli sepatutnya memperlihatkan hal-hal yang
memperlihatkan keseimbangan integritas dalam menilai (menguraikan
kelebihan-kelebihan selain menjelaskan kelemahan-kelemahan puisi atau
karya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar