Kamis, 27 November 2014

Sebuah Cerpen Sastra- Rumah Reyot

13 March 2011 § Leave a comment
Sepertinya terlalu lama aku berteman dengan diam hingga aku selalu membisu. Di ruang sebesar ini, hiruk pikuk terdengar menggelegar. Suara petir dari kejauhan seakan menghantam keras setiap tiang tipis yang berdiri di atap rumah. Menutup telingapun aku tidak sanggup. Hanya bisa membiarkan suara menjalar dalam keheninganku. Dan aku tetap diam.
Bosan? Mungkin ya. Setiap aku bersuara, hanya topeng yang terlihat jelas. Bagaimana bisa aku dikatakannya menuntut? Rumah besar terlihat reyot. Rumah yang dibeli mereka puluhan tahun lalu sebagai rasa cinta, dipecahkan begitu saja. Tua yang kokoh menjadi seperti kepingan pecahan gelas. Terlihat utuh, namun hancur berkeping.
Masih, aku masih diam. Menatap hampa dari tempatku berdiri. Masih, aku berdiri di dalam rumah reyot yang besar dan tua. Masih, terdengar setiap kericuhan yang berteriak-teriak sejak aku terlahirkan. Masih, aku merasakan bertapa menyedihkannya hidupku.
Karena aku diam, aku semakin mendengar. Rutinitas yang sama, celoteh yang tidak bervariasi, omelan yang dipaksakan. Semua tertuju pada mereka yang tinggal di dalam rumah. Sampai detik terakhir musik dimatikan, dia masih seperti nenek sihir yang siap memberikan apel beracun pada keluarganya.
Menyahat hati, menjadikanku sulit melihat cinta yang telah aku kenal sejak kecil. Rumah yang kata mereka dan Dia tempat aku bisa menemukannya, kenyataannya tidak. Lagi, hanya hiruk pikuk.
Diam, sepi. Sekarang tidak ada lagi musik. Bahkan tidak ada lagi teriak nenek sihir itu. Diam, hening. Tentramkah? Semoga.
Aku masih berdiri. Apa yang tersisa? Cinta? Benci? Hanya ada benang tipis yang tidak bisa aku gunting bahkan sampai malaikat menjemput.
Aku tersenyum sejenak, memikirkan kebodohannya, kebencianku, cintanya, dan topengnya, akhirnya menjadi sakitku.
Diam. Semua membacakan doa. Semua memandang pada satu tubuh. Di dalam rumah reyot, yang sepi terdengar suara ramai seucap doa. Air mataku mengalir membasahi pipiku, turun mengenai bibirku. Tidak ada lagi rasa. Hanya ada diam bersamaku.
Terlambat? Tidak ada sesal, tidak ada hari, tidak ada terlambat. Semua sudah pada waktunya. Hanya aku yang tersisa bersama diam tanpa memaafkan. Membuat perjalanan terasa berat. Rumah reyot tidak lagi utuh. Karena satu per satu meninggalkannya. Sejak gelas dipecahkan. Bahkan maafpun tidak sempat bersahabat bersama cinta. Karena diam telah menjadi teman lama dan akhirnya sesal terus menghantui rumah reyot, nomor 7. Mereka belum pergi dan tetap diam. Sedangkan aku? Sama,tetap diam. Karena tubuhku tidak lagi utuh, hanya tersisa debu abu dari tulang yang terbakar.
Namun, sekarang aku bisa mendengar, suara asli nenek sihir penghuni rumah reyot. Seucap doa dan kata maaf di penghujung hariku. Semoga belum terlambat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar