Jumat, 28 November 2014


Menulis Sastra Prosa


 
Kegiatan menulis sastra di sekolah-sekolah dapat dipastikan masih tertumpu pada teori, terutama teori-teori lama. Padahal, guru sebagai fasilitator kelas semestinya mampu mengaplikasikan teori tersebut sehingga tatkala ada kendala pada siswa semisal ‘mentok ide’ dapat diantisipasi berdasarkan pengalaman si guru.
Kasus kakunya pembelajaran menulis sastra di sekolah cenderung saat campur tangan guru dalam memberikan tema atau topik kepada siswa. Soal penetapan tema bagi siswa mesti dipikirkan dengan saksama. Manakala siswa belum pernah sama sekali diminta menulis, tema mestinya tidak ditetapkan oleh guru. Berikan terlebih dahulu kesempatan kepada siswa mengembangkan pemikirannya dengan bebas, baru kemudian diarahkan.
Ada dua hal yang mesti diperhatikan di sini: (1) pencarian ide; (2) pencarian masalah. Kedua hal ini tentunya berlaku dalam menulis prosa (cerpen dan novel).
  1. 1. Pencarian ide
Banyak orang mengaku kesulitan menulis karena tidak ada ide. Hal ini juga pernah saya dengar dari penulis-penulis yang sudah mapan—bukan hanya penulis pemula. Jika penulis yang sudah biasa menulis saja mengeluhkan soal ide, bagaimana pula dengan siswa di sekolah yang baru pertama sekali mendapat perintah mengarang (menulis).
Saya masih ingat dengan cerpen Seno Gumira Ajidarma yang terpilih sebagai cerpen pilihan Kompas 1993. Betapa topik yang telah ditentukan oleh si guru dalam cerpen “Pelajaran Mengarang” tersebut telah membuat tokoh Sandra tidak dapat menuangkan idenya. Ini adalah satu di antara beberapa kelemahan jika ide (topik) ditetapkan oleh guru.
Kendati demikian, adakalanya memang topik harus ditetapkan oleh guru. Hal ini dimungkinkan pada siswa yang sudah pernah dilatih atau memang terlatih menulis (mengarang). Bagi yang pertama sekali mencoba mengarang juga tidak tertutup kemungkinan manakala alasannya siswa tidak memiliki ide.
Kesulitan mendapatkan ide ini—seperti saya tuturkan di atas—juga terkadang dialami penulis yang sudah jadi. Pada beberapa pelatihan menulis, saya sering diaajukan pertanyaan dari peserta terkait kesulitan ide. Hemat saya, ide itu ada di alam (semesta). Hal ini sesuai dengan salah satu pendekatan sastra yang ditawarkan Abram, yakni pendekatan mimesis yang artinya pendekatan karya sastra menitikberatkan pada alam (Teeuw, 1984:42).
Berikutnya, ide juga dapat diarahkan dari pengalaman, baik pengalaman penulis maupun pengalaman orang lain. Untuk penilaiannya, hal ini dapat dilakukan dengan teori ekspresif (Teeuw:1988:155). Oleh karena itu, tidak tertutup kemungkinan guru mengarahkan siswa yang kesulitan ide agar menulis berdasarkan pengalaman pribadi atau pengalaman teman.
Jika idenya diambil dari pengalaman orang lain (teman), tentunya sebelum menulis karya sastra, siswa dianjurkan agar saling berbagi cerita dengan temannya. Hal ini dapat juga dilakukan dengan meminta siswa membaca buku. Dari hasil bacaan itu kemudian siswa diminta menulis sebuah cerita. Boleh jadi mengajarkan menulis kepada siswa setelah siswa terlebih dahulu diminta membaca salah satu karya sastra (misal: cerpen). Karya yang sudah dibaca itu dimintakan kepada siswa untuk ditulis ulang berdasarkan apa yang diingatnya saja. Ini sah dilakukan karena penilaian sastra pun ada yang namanya intertekstualitas.
Singkatnya, banyak cara dapat dilakukan untuk mendatangkan ide, karena ide bukanlah ilham yang jatuh dari langit atau yang hadir dalam mimpi di siang bolong.
  1. 2. Pencarian masalah
Selanjutnya, setelah mendapatkan ide, dalam karya sastra prosa, baik cerpen maupun novel, yang terpenting berikutnya yakni masalah. Masalah di sini adalah konflik yang akan membangun cerita nantinya. Cerpen tanpa masalah (konflik) tentu akan menjadi cerita garing. Soal masalah ini, dalam cerpen cukup menghadirkan satu saja, sedangkan untuk novel boleh beberapa masalah. Artinya, cerpen memang cerita yang hanya menyajikan satu konflik.
Tatkala siswa sudah mendapatkan konflik, mereka juga mesti dituntun dalam membangun konflik tersebut agar menuju puncak konflik, yakni menciptakan suspens dalam berkisah. Satu tawaran konflik yang dibangun dengan bunga konflik akan menjadikan cerpen terasa ‘nikmat’ saat dibaca. Maka dari itu, guru juga mesti mengajarkan siswa dalam menggunakan bahasa bercerita, yakni bahasa komunikatif.
Bagaimana meramu bahasa, sama halnya dengan bagaimana membangun konflik, yakni mesti sering membaca karya sastra. Menulis tanpa disertai dengan membaca adalah sebuah proses nihil. Oleh karenanya, jika mengajarkan menulis cerpen, siswa juga diberikan contoh cerpen yang layak untuk dibaca. Deikian halnya dengan puisi, novel, drama, atau karya sastra lainnya.
Selama ini, banyak anggapan bahwa membaca novel, cerpen, dan puisi, dan naskah drama bukanlah hal yang penting dalam proses pembelajaran. Padahal, jika mengaku pada pepatah bijak, “Berkawan dengan tukang las, akan kena percikan tahi besi. Berteman dengan pandai emas, akan dapat bunga emas. Berakan dengan tukang jual minyak wangi, akan keciprat harumnya.” Jelas sekali kalau hendak menulis cerpen, mesti sering-sering membaca cerpen, hendak menulis novel, sering-seringlah membaca novel, hendak menulis puisi, jangan bosan membaca puisi (karya) orang.
Sekilas, dilihat dari asumsi, seakan kita mengajarkan anak meniru. Untuk langkah awal, jawabannya adalah “iya”. Biarkan saja anak menjadi epigon dari karya orang lain. Lama kelamaan ia akan menemukan orisinilitas dalam pencariannya.

Menulis Puisi
Khusus untuk puisi, anak didik mesti diajarkan cara berkontemplasi. Artinya, secara sederhana siswa diminta untuk merenung terhadap kata yang akan digunakan saat hendak mengungkapkan sesuatu dalam puisinya.
Seperti diketahui, puisi adalah karya sastra yang memiliki hermeuneutik ambigu. Ia multitafsir. Karenanya, anak mesti diberikan pemahaman yang cukup dalam memaknai puisi orang. Baru kemudian dapat menulis puisi pula. Anak didik juga mesti diajarkan cara-cara menandai kata-kata konkret dan menggunakan diksi yang tepat dalam puisi. Demikian halnya dengan penggunaan bahasa figuratif agar pengimajian puisi didapatkan. Persoalan tema dan topik, seperti saya sebutkan di atas, jangan dibatasi dulu bagi pemula. Apalagi, untuk puisi, pembatasan topik akan mempersempit langkah anak mengembangkan kerangka berpikirnya.
Langkah berikutnya, siswa juga dibimbing dalam melakukan penginderaan. Hal ini sangat mudah, karena dapat dipastikan setiap siswa paham indera. Untuk indera penglihat dan pendengar, tidak tertutup kemungkinan siswa diajak keluar kelas sejenak. Bebaskan siswa melihat atau mendengar apa saja di luar, lalu minta ia mencatatnya. Dari sejumlah kata yang sudah didapati, minta siswa memilah antara mungkin “kata aneh” atau “kata sederhana/populer”. Berikan penjelasan kepada siswa terhadap katagori “kata aneh” yang layak dijadikan diksi dalam menulis puisi.
Endraswara (2003:224) menawarkan enam langkah bagi seseorang jika ingin menyair: (1) melatih tanggap sasmita, yakni peka terhadap sesuatu; (2) menangkap ilham, yakni berusaha mencari tempat-tempat tertentu yang dapat merangsang ide; (3) memunculkan kata “pertama” yakni berusaha menuliskan kata apa saja yang menjadi pertama sekali muncul, boleh jadi alam semesta; (4) mengolah kata, yakni memanipulasi ilham, tetapi pengolahan kata ini tetap membutuhkan hati; (5) memberi vitamin, yaitu memberikan kata-kata tertentu sebagai gaya bahasa dalam menuturkan sesuatu, dalam artian berusaha bermain kata-kata; (6) menyelesaikan kata, yaitu meyeleksi kata-kata yang sudah dipilih untuk digunakan dalam puisi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar